rizanblogwordpres

Home

Selamat datang di blog saya…!

 

     1.  Pendahuluan

Secara historis semenjak masa kerajaan, masa penjajahan dan hingga masa kemerdekaan, dalam struktur pemerintahan di Aceh terdapat seperangkat aparat yang melaksanakan tugas pemerintahan secara bersama. Aparat tersebut dapat dijumpai mulai unit pemerintahan terkecil, yaitu gampong (desa). Aparat dimaksud adalah yang sekarang populer dengan sebutan penguasa (umara) dan ulama.

Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau birokrat pelaksana pemerintahan dalam suatu unit kekuasaan pemerintahan. Contohnya seperti Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam kerajaan. Sementara itu, ulama adalah aparat pendamping dan penasehat para umara atau pemimpin adat dalam melaksanakan roda pemerintahan. Ide atau pandangan ulama terutama diperlukan oleh para umara pada saat memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut dengan bidang hukom (syariat atau hukum Islam).

Selain sebagai penasehat pimpinan pemerintah, eksistensi ulama juga mempunyai tugas lain yang berkenaan dengan jabatan itu. Di antara tugas tersebut misalnya dapat dilihat pada unit pemerintahan gampong, seperti membina atau mengasuh pengajian anak-anak di meunasah-meunasah, menyelesaikan sengketa antar warga bersama keuchik atau tuha peut. Di samping itu, ulama juga berperan dalam menyelenggarakan ritual keagamaan yang menyangkut dengan kematian warga, mengurus masalah peurae (pembagian harta warisan) dan menyelesaikan berbagai masalah yang menyangkut dengan keagamaan lainnya (Taufik Abdullah, 1983:150).

Pada masa menjelang kehadiran kolonial Belanda ke Aceh, ulama juga sudah memegang peranan penting sebagai tokoh yang meng-konsolidasi kekuatan rakyat untuk menentang Belanda. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rusdi Sufi (1997:33) sebagai berikut:

Pada akhir bulan Agustus 1872, sepucuk surat Gubernur Jenderal Hindia Belanda sampai ke tangan Sultan Mahmud Syah, penguasa kerajaan Aceh Darussalam. Dalam surat itu disebutkan bahwa Belanda menginginkan Aceh takluk kepadanya. Akan tetapi, Sultan Mahmud Syah menolak keinginan Belanda tersebut. Bersamaan dengan itu ia mengkonsolidasi kekuatan rakyat, dan andalan utama konsolidasi itu ialah kekuatan para ulama.

 

Berpijak pada data historis di atas memberi suatu gambaran utuh tentang besarnya eksistensi ulama di Aceh dalam pergerakan politik. Bahkan peran ulama pasca kemerdekaan Indonesia, juga masih sangat terasa dalam panggung politik nasional dan daerah, khususnya di Aceh.

Eksisnya ulama Aceh dalam kancah politik lokal dan nasional memberi warna tersendiri dalam perpolitikan Indonesia. Hal ini dapat ditampilkan beberapa sosok ulama Aceh yang sangat terkenal seperti Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Ja’far Shiddiq dan Tgk. Hasan Krueng Kale. Ulama ini pernah memberikan sebuah keputusan seteah melakukan pertemuan dan sepakat mendukung “Pemimpin Besar Soekarno” dalam perlawanan terhadap Belanda. Kesepakatan tersebut kemudian dikenal dengan “Deklarasi Seluruh Ulama Aceh”.  Deklarasi ini telah mendorong rakyat untuk bersatu melawan Belanda yang ingin kembali ke Indonesia.

Partisipasi ulama dalam pergerakan politik di Aceh juga terjadi ketika meletusnya peristiwa berdarah pada 21 September 1953, yang merupakan sebuah tragedi bagi rakyat Aceh. Peristiwa itu dikenal dengan peristiwa Daud Beureueh atau Pemberontakan DI/TII Aceh (M. Nur El Ibrahimy, 2001:1).

Berdasarkan latar belakang di atas, memberi suatu kejelasan tentang betapa besarnya peranan ulama Aceh dalamrang dengan Belanda. Atas dasar itulah, maka penulis memilih judul skripsi ini: “Eksistensi Ulama dalam Pergerakan Politik di Aceh 1953-2005.”

 

2.  Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini, sebagai berikut:

2.1       Bagaimana eksistensi ulama dalam masyarakat Aceh?

2.2       Bagaimana keterlibatan ulama dalam gerakan politik di Aceh?

2.3       Bagaimana pengaruh keterlibatan ulama dalam kancah politik terhadap kondisi sosial politik di Aceh?

3.  Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

3.1   Ingin mengetahui eksistensi ulama dalam masyarakat Aceh.

3.2   Ingin mengetahui keterlibatan ulama dalam gerakan politik di Aceh.

3.3   Ingin mengungkapkan pengaruh keterlibatan ulama dalam kancah politik terhadap kondisi sosial politik di Aceh.

 

4. Anggapan Dasar

Adapun yang menjadi anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sebgaai berikut:

4.1   Ulama merupakan komponen masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam.

4.2   Eksistensi ulama mampu menggalang persatuan dan mengobarkan untuk menentang pemerintah karena dianggapnya tidak berlaku adil.

 

5.  Sistematika Pembahasan

Skripsi ini disusun dalam empat bab pembahasan, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, anggapan dasar, hipotesa, metode penelitian, serta organisasi laporan penelitian.

Bab II, tinjauan historis tentang eksistensi ulama dalam masyarakat Aceh. Pembahasannya meliputi: pengertian ulama, keberadaan dalam masyarakat Aceh, ulama sebagai pemimpin umat serta hubungan ulama dan umara dalam masyarakat Aceh.

Bab III, Metode dan teknik penelitian. Pembahasannya meliputi:  teknik pengumpula data serta teknik pengolahan dan analisi data.

Bab IV, Kiprah ulama Aceh pada awal kemerdekaan. Pembahasannya meliputi: kiprah ulama Aceh pada awal kemerdekaan, kiprah ulama Aceh pada masa DI/TII, serta peran ulama dalam lahirnya UU No. 44/1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh.

Bab V, penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran.

 

TINJAUAN HISTORIS TENTANG EKSISTENSI ULAMA DALAM MASYARAKAT ACEH

 

1. Pengertian Ulama

            Ditinjau secara etimologi ulama berasal dari kata ‘alim, yang bermakna orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam (Depdiknas, 2005:1239). Menurut Abdul Qadir Djaelani (1994:3) pengertian dari ulama adalah sebagai berikut:

            Ulama jamak dari kata ‘alima, yang berarti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap. Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian dan akhlak yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT, tunduk, patuh dan taat kepada-Nya.

 

Bila ditinjau secara lebih mendalam, bahwa rumusan tentang ulama dengan sifat-sifatnya, yaitu bahwa ulama adalah hamba Allah yang berakhlak Qur’ani yang menjadi waratsatul anbiya (pewaris para nabi), qudwah (pemimpin dan panutan), khalifah, pengemban amanah Allah, penerang budi, pemelihara kemaslahatan demi kelestarian hidup manusia.

            Berdasarkan pengertian di atas dapat disebutkan bahwa ulama adalah hamba Allah yang memiliki jiwa, mengenal Allah dengan pengertian yang hakiki, pewaris Nabi, pelita umat dengan ilmu dan bimbingannya, menjadi pemimpin dan panutan yang dapat diteladani  dalam ketaqwaan dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam beribadah dan beramal saleh, selalu benar dan adil. Sebagai mujahid dalam menegakkan kebenaran, tidak takut kepada celaan dan tidak mengikuti hawa nafsu, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar (Abdul Qadir Djaelani, 1994:4).

            Ada beberapa syarat atau kriteria seseorang yang termasuk dalam kategori ulama, lebih lanjut Abdul Qadir Djaelani (1994:4-5) menguarikan sebagai  berikut:

1) Kriteria keilmuan dan keterampilan, antara lain:

–         Memahami Al-Qur’an dan Sunnah serta qiyas

–         Memiliki kemampuan memahami situasi dan kondisi serta dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat dan dakwah Islam.

–         Mampu memimpin dan membimbing umat dalam melaksanakan kewajiban hablum min Allah, hablum min-annas (membina hubungan dengan Allah dan membina hubungan dengan sesama manusia).

2)  Kriteria pengabdian, antara lain:

–         Mengabdikan seluruh hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah.

–         Menjadi  pelindung pembela dan pelayan umat (waliyul mukminin)

–         Menunaikan segenap tugas dan kewajibannya atas landasan iman dan takwa kepada Alah SWT dengan penuh rasa tanggungjawab.

3) Kriterian akhlak dan kepribadian, antara lain:

–         Berakhlak mulia, ikhlas, sabar, tawakkal, istiqamah:

a)      Berkepribadian siddiq, amanah, fathanah dan tabligh

b)     Menunaikan segala perkara yang dicintai oleh Allah

c)     Menolak dan meninggalkan segala perkara yang dibenci oleh Allah SWT

d)     Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

–         Tidak takut selain kepada Allah

–         Berjiwa iitsar (mendahulukan kepentingan umat/masyarakat di atas kepentingan pribadi) dan pantang menjadi penjilat.

–         Berpikir kritis, berjiwa dinamis, bijaksana, lapang dada, penuh dedikasi  fisik dan mental.

 

2. Keberadaan Ulama dalam Masyarakat Aceh

Masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang agamis, khususnya Islam sangat dekat dengan ulama. Disadari bahwa ulama dalam masyarakat Aceh menjadi panutan bagi segenap warga, sebagai sosok yang dihormati dan dikagumi. Kekaguman masyarakat terhadap ulama terutama karena ulama memiliki pengetahuan agama yang mendalam serta ulama juga sebagai tokoh yang memiliki kharismatik dalam kehidupan masyarakat.

Kaum ulama atau alim ulama dalam masyarakat Aceh sering disebut dengan teungku. Gelar teungku yang dijuluki kepada seseorang sebenamya biasa-biasa saja. Sebutan itu sering digelarkan kepada seseorang, yang telah dan sedang menempuh pendidikan di dayah (pesantren). Sebutan itu tidak memandang berapa lama seseorang belajar di suatu lembaga pendidikan dayah. Namun kalau ditinjau secara ilmiah, ulama yang dimaksud adalah mereka selain memiliki pengetahuan agama yang dalam dan luas juga memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Seorang ulama harus beriman, bertaqwa, beramal saleh dan berakhlak mulia, serta selalu mengajak umat manusia untuk melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya. Umumnya mereka adalah pimpinan-pimpinan dayah/pesantren di Aceh, walaupun ada pula yang tidak memimpin dayah. Keulamaan seseorang pimpinan dayah itu sering juga digelar dengan sebutan, Abon, Abu, dan Teungku Chiek (Rusdi Sufi, 1997:7).

Kepopuleran seseorang ulama bukan saja karena kesalehannya dan berilmu tinggi, akan tetapi karena sanggup memimpin masyarakat. Sosok ulama adalah simbol pemersatu umat. Sebagai pemersatu umat, pada diri ulama itu terpancar sifat kharismatik. Kharisma atau kewibawaan yang dimiliki oleh seseorang ulama menjadi satu kekuatan yang mampu menggerakkan dan memotivasi rakyat dalam melakukan berbagai aktivitas positif sehari-hari.

Kaitan dengan pemyataan di atas Rusdi Sufi (1997:8) menguraikan bahwa masyarakat pedesaan atau orang-orang yang tinggal di pedesaan dalam masyarakat Aceh disebut dengan ureung gampong, yaitu orang yang mendiami di suatu wilayah yang jauh dengan perkotaan. Kehidupannya cukup bersahaja dan belum terpengaruh dengan berbagai perubahan. Kehidupan mereka terbingkai oleh lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai budaya, nilai-nilai sosial dan adat istiadat, serta nilai-nilai agama. Dalam bertindak dan bertingkah laku sehari-hari, mereka selalu memperlihatkan corak dan nilai-nilai yang bersumber pada ajaran Islam dalam hampir segenap aspek kehidupan. Penerapan berbagai tingkah laku yang bercorak keislaman ini disebabkan oleh adanya pranata sosial yang umumnya berlaku pada masyarakat Aceh melalui lembaga pendidikan dayah, sehingga menghasilkan ulama-ulama militan sebagai pemimpin pranata sosial dalam masyarakat.

Sebagai orang yang memiliki pengetahuan keagamaan yang luas, maka ulama memiliki andil besar dalam mentransferkan ajaran agama dan nilai-nilai sosial kepada masyarakat. Dalam melakukan kegiatan tersebut, ulama menempuh berbagai cara dan media, antara lain melalui lembaga pendidikan dayah dan berbagai media dakwah lainnya. Hikayat merupakan salah satu media dalam memvisualisasikan ajaran-ajaran atau nilai-nilai agama kepada masyarakat. Hikayat yang penuh dengan nilai seni sastra dijadikan sebagai alat yang sangat ampuh oleh ulama dalam mengajarkan syariat Islam. Hikayat ini mengandung petuah-petuah, nasehat-nasehat, dan kisah-kisah kehidupan para nabi/auliya yang dapat menjadi contoh dan tauladan dalam kehidupan umat manusia. Hikayat ini juga mengandung unsur pendidikan dan moral keagamaan. ­

Pemilihan hikayat sebagai media oleh para ulama dalam mentransformasikan nilai-nilai agama kepada masyarakat sangatlah tepat. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang pada umumnya masih belum mampu menulis dan membaca tulisan Arab dan Laten. Hikayat ini pada umumnya ditulis oleh para ulama dan dibacakannya dihadapan masyarakat baik pada ruang tertutup maupun ruang terbuka. Masyarakat dengan tekun mendengarkan untaian kalimat per kalimat dengan gaya bahasa yang khas, sehingga mampu membangkitkan emosional masyarakat sebagai pendengamya.

Pembacaan hikayat tidak terlalu terikat dengan waktu, tempat dan teks. Para ulama biasanya membacakan hikayat tanpa melihat teks dan dapat dialunkan di mana saja dan kapan saja. Memang tidak semua ulama mampu mengarang dan menulis hikayat. Akan tetapi pada umumnya mereka mampu menyadur dan membacakannya kepada masyarakat terutama di lingkungan desa di mana para ulama itu berdomisili (Rusdi Sufi, 1997:9).

Ulama-ulama yang mahir dalam mengarang hikayat antara lain Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Chik Pante Kulu dan Teungku Chik Di Tiro. Alim ulama ini telah berandil besar dalam mem-visualisasikan hikayat sebagai media komunikasi keagamaan dengan masyarakat. Mereka telah mampu menggerakkan semangat masyarakat untuk melawan penjajahan Belanda dalam periode perang Belanda di Aceh lewat media hikayat.

Pada masa penjajahan Belanda, hikayat menjadi media untuk membangkitkan semangat juang. Banyak para pemuda setelah mendengar pembacaan hikayat dengan gagah berani mengambil pedang atau rencong pergi ke medan perang untuk melawan kafir Belanda tanpa ragu dan gundah sedikitpun. Para ulama itu membacakan hikayat untuk mendukung perjuangan tersebut di setiap mukim atau kampung.

Hikayat sebagai media hubungan antara alim ulama dengan masyarakat juga dibacakan di menasah-menasah pada waktu malam hari, ketika pemuda hendak tidur. Hikayat-hikayat yang dibacakan di tempat ini pada umumnya mengandung petuah-petuah ataupun pedoman-pedoman dalam mengarungi kehidupan dunia menuju ke alam akhirat yang lebih baik. Petuah-petuah itu didengar dengan baik oleh para pemuda. Hikayat-hikayat yang dibacakan di menasah itu juga mengandung unsur-unsur hiburan (pelipur lara) bagi pemuda, yang berisi nyanyian-nyanyian tidur. Peranan hikayat ini menjadi hiburan para pemuda di zaman dahulu. Akan tetapi pada masa sekarang peranan tersebut telah mulai tergeser oleh berbagai media informasi dan hiburan lainnya yang kini telah-menembus pelosok desa sekalipun. Para pemuda sekarang.lebih banyak menghabiskan waktu dengan media hiburan lainnya seperti internet, televisi, tape recorde dan radio.

Dewasa ini pembacaan hikayat hampir tidak pernah terdengar lagi di desa-desa, bahkan di desa terpencil sekalipun. Hal ini disebabkar oleh banyaknya media informasi dan alat-alat hiburan lainnya. Selain itu tingkat kesibukan masyarakat dengan berbagai aktivitas dar pekerjaan juga turut memberikan pengaruh untuk tergesernya peranan dan fungsi hikayat dalam kehidupan masyarakat.

 

3. Ulama Sebagai Pemimpin Umat

Eksistensi ulama dalam masyarakat juga berperan sebagai pemimpin umat dan simbol pemersatu. Sebagai pemimpin informal alim ulama menjadi panutan, tempat bertanya dan tempat mengadu berbaga permasalahan yang dihadapi masyarakat, sehingga mendapatkan petunjuk dan petuah darinya. Tidak jarang pula masyarakat dalarr bermunajat (memohon) sesuatu kepada Allah SWT melalui bimbingar dan perantara para alim ulama.

Posisi ulama di mata masyarakat pedesaan ialah sosok pemimpin yang sangat kharismatik. Kharisma yang dimiliki para ulama telah menjadi alat yang sangat ampuh untuk menghimpun masyarakat dan mengajak umatnya untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar.  Hal ini didukung pula oleh kondisi masyarakat pedesaan di Aceh yang sangat patuh dan taat pada penyataan atau perkataan ulama Kepatuhan pada alim ulama tersebut bukanlah kepatuhan semu melainkan kepatuhan yang sungguh-sungguh dan dilandasi olel loyalitas yang tinggi. Rakyat tidak berani sama sekali melawan perintah atau petunjuk alim ulama, karena dari segi etika moral keilmuan dan keagamaan yang berkembang dalam masyaraka pedesaan di Aceh adalah ingkar terhadap perintah para nabi (Rusdi Sufi, 1997:10).

Ulama dalam mengemban tugas suci sebagai pewaris para nabi atau ambiya harus selalu berkata dan bertindak benar, sesuai dengan kaidah dan ajaran Islam. Oleh karena itu ulama juga berfungsi sebagai penyampaian risalah atau tuntunan bagi segenap lapisan masyarakat di pedesaan. Dalam menyampaikan risalah inilah ulama pergi ke mana-mana dari desa ke desa untuk berdakwah di tengah-tengah umatnya. Ia selalu berkhotbah untuk mengajak umatnya kepada yang benar dan menjauhi semua larangan Tuhan, baik di menasah, mesjid, balai-balai pengajian maupun di dayah-dayah (pesantren).

Sebagai mubaligh para ulama dalam menyampaikan risalah agama pergi ke desa-desa, berkeliling sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Para ulama ini umumnya sangat menguasai retorika berdakwah agar disenangi oleh umatnya. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1994:2) “Retorika adalah ilmu bicara, ilmu tentang cara dan bentuk pembicaraan yang diucapkan supaya kedengaran baik dan dapat mempengaruhi audien (pendengar)”. Masyarakat pun sangat antusias mendengarkan isi ceramah yang disampaikan oleh para mubaligh tersebut. Apa lagi kalau isi ceramah itu agak sedikit keras dan dibumbui dengan humor-humor segar. Apa yang disampaikan oleh para mubaligh itu menjadi pegangan dan, tauladan bagi masyarakat. Oleh karena itu sangat sering kita mendengarkan pembicaraan masyarakat saat berkumpul beberapa orang yang mendiskusikan hasil ceramah para teungku atau mubaligh tersebut, baik yang menyangkut persoalan keduniawian maupun masalah ukhrawi (akhirat). Mereka (para anggota, masyarakat) itu dalam setiap pembicaraan selalu merujuk pada isi ceramah para mubaligh tertentu, misalnya menurut teungku pulan saat berceramah di desa anu mengatakan begini atau begitu. Perkataan atau isi ceramah alim ulama tersebut dapat menjadi pedoman masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Rusdi Sufi, 1997:11).

Para alim ulama dalam mengayomi masyarakat selalu mempergunakan lembaga-lembaga pengajian baik di dayah maupun dl menasah atau surau. Mereka menjadi guru pengajian secara suka rela tanpa mengharapkan gaji atau upah baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Untuk menghidupkan dayah atau lembaga-lembaga pengajian lainnya, para ulama itu memperoleh bantuan dari swadaya masyarakat antara lain dalam bentuk zakat, infak dan sadaqah. Selain itu mereka juga mendapatkan dukungan dari umatnya dalam bentuk tenaga dan moril. Dengan bantuan dan partisipasi dari masyarakat itulah mereka mampu melakukan misi-misi agama secara optimal.

Selain membina lembaga-lembaga pendidikan dayah, sejak masa kesultanan para alim ulama di Aceh juga bergerak dalam usaha-usaha pembangunan lainnya terutama dalam bidang sosial, pembinaan moral, mental dan pertanian. Ulama yang bergerak dalam bidang pertaniar antara lain: Teungku Chik di Pasi, Teungku Chik Di Bambi, Teungku Chik Di Trueng Campli dan Teungku Chik Di Ribee. Keempat ulama besar ini ahli dalam bidang irigasi dan pertanian (Baihaqi, 1983:117).

Para ulama juga ada yang memiliki keahlian dalam bidang kesateraan karang mengarang seperti Teungku Chik Kuta Karang. Keahlian dalam bidang ilmu kedokteran (tabib) juga sangat membantu masyarakat pedesaan pada zamannya. Kondisi masyarakat Aceh pada waktu itu yang belum mengenal ilmu medis memang sangat membantu dengan kegiatan ulama yang menguasai ilmu ketabiban (kedokteran) Masyarakat di desa-desa kalau menderita penyakit selalu mendatangi para ulama untuk mendapatkan peunawa (penawar). Penawar yang dibuat oleh para teungku atau ulama sangat diyakini oleh masyarakat dan memang dapat, menyembuhkan penyakit.

Peran ulama sebagai tabib dalam masyarakat pedesaan di Aceh masih tetap berlangsung sampai sekarang ini. Kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama ini tidak hanya yang berhubungan dengan penyakit jasmani (fisik) tetapi juga menyangkut dengan ilmu jiwa (penyakit rohani/mental). Bahkan bila masyarakat mengalami kehilangan sesuatu, mereka langsung menemui teungkuteungku yang ada di desa-desa. Mereka yang mengalami kehilangan itu meminta kepada teungku untuk, mendo’akan atau memohon kepada Allah SWT agar harta yang hilang itu ditemukan/didapati kembali (Adnan Abdullah, 1994:20).

Pada bagian lain ada pula ulama-ulama seperti Teungku Chik Di Tanoh-Abee dan Teungku Haji Hasan Krueng Kalee yang mempunyai keahlian di bidang ilmu Falaq dan ilmu Hisab. Ilmu Hisab sangat membantu masyarakat dalam menentukan waktu dan jadwal shalat,  jadwal puasa bulan Ramadhan (imsakiyah). Sementara ilmu Falaq sangat berperan dalam meramal keadaan cuaca, yang sangat penting artinya bagi masyarakat nelayan dan petani. Para nelayan bila hendak melaut selalu memperhatikan keadaan cuaca (bintang), sehingga usahanya membuahkan hasil yang memuaskan. Demikian pula dengan para petani, bila hendak turun ke sawah yang selalu harus sesuai dengan keadaan curah hujan, agar panennya dapat berhasil denga baik. Ilmu falaq yang menyangkut dengan pertanian ini, sangat populer sebelum adanya irigasi untuk mengairi sawah-sawah di wilayah pedesaan.

Bagi para petani sawah, ilmu Falaq yang dimiliki oleh seorang ulama dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk melihat waktu yang tepat turun ke sawah. Bila waktu turun ke sawah telah tiba, bagi masyarakat tradisional di Aceh selalu dimulai dengan upacara kenduri blang (kenduri turun ke sawah) yang dipimpin langsung oleh para ulama dan keujruen blang. Setelah dilakukan upacara tersebut, maka dilanjutkan dengan kegiatan turun ke sawah perdana yang dimulai oleh teungku/ ulama. Maksudnya adalah yang membawa cangkul dan bibit padi pertama ialah teungku di desa tersebut. Kemudian baru dilanjutkan oleh para petani lainnya yang ada di desa tersebut. Begitulah pengaruh dan kepercayaan masyarakat terhadap para alim ulama dalam berbagai kehidupan pada masa dahulu (Baihaqi, 1983:119).

Nilai dan tingkah laku kehidupan masyarakat pedesaan di Aceh memperlihatkan corak yang Islami dalam setiap aspek kehidupannya. Hal ini tidak terlepas dari peranan para ulama melalui lembaga pendidikan dayah sebagai basis kehidupan para ulama. Peranan ulama hasil godokan dayah tersebut sangat berpengaruh dalam berbagai pranata sosial dalam masyarakat dengan menguasai lembaga meunasah (surau). Bahkan pelopor pembangunan sebuah meunasah atau mesjid sering dipercayakan kepada alim ulama. Ulama menjadi penggerak yang berdiri di garis terdepan dengan memberikan penerangan kepada masyarakat tentang pentingnya sebuah mesjid atau meunasah. Ulama pula yang memotivasi masyarakat untuk berderma atau bersedekah demi selesainya sebuah meunasah atau mesjid. Keikhlasan masyarakat menyumbangkan sebahagian hartanya pada pembangunan mesjid atau meunasah, tidak terlepas dari kemampuan para ulama dalam menjelaskan kepada masyarakat akan pentingnya lembaga-lembaga tersebut. Para ulama ini memotivasi masyarakat dengan berbagai cara, yang kesemuanya itu selalu berorientasi pada nilai-nilai pahala yang akan diperoleh oleh masyarakat tersebut.

Selain itu masyarakat pun secara moral menaruh kepercayaan besar pada ulama dalam mengelola pelaksanaan pembangunan rumah ibadah itu tanpa menaruh curiga sedikitpun. Ulama dianggap orang yang paling jujur dan tidak akan memanfaatkan sumbangan dari masyarakat itu untuk kepentingan pribadinya (Adnan Abdullah, 1994:22).

Bila dikaji secara mendalam sangat banyak persoalan sosial kemasyarakatan yang melibatkan tokoh agama. Di antara persoalan yang belum disebutkan adalah menyangkut dengan acara-acara kematian. Pada satu sisi masalah ini memang menyangkut dengan masalah keagamaan. Akan tetapi yang paling menonjol di sini ialah menyangkut keterlibatan para alim ulama. Setiap adanya orang meninggal, orang paling cepat mengetahui berita duka cita itu setelah keluarga yang bersangkutan adalah Teungku Imam Meunasah. Dialah yang memberitahukan kepada masyarakat luas selanjutnya dengan memukul beduk (tambo) tiga kali. Sekarang, tradisi memukul beduk sudah digantikan penggunaan alat pengeras suara (mikrofon) untuk membuat pengumuman kematian.    Namun demikian, masih ada sebagian kecil desa-desa di Aceh yang menggunakan tambo sebagai media informasi dalam masyarakat pedesaan.

Setelah adanya berita duka, masyarakat secara berbondong-bondong menuju ke tempat orang meninggal itu. Peran ulama tidak hanya di situ, tetapi berlanjut sampai dengan selesainya acara-acara kenduri di rumah itu. Jadi pola hubungan antara ulama dengan masyarakat desa berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

 

4. Hubungan Ulama dan Umara dalam Masyarakat Aceh

Secara historis bahwa semenjak masa kerajaan Aceh Darussalam, masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang, dan hingga masa kemerdekaan, dalam struktur pemerintahan tradisional di Aceh terdapat seperangkat aparat yang melaksanakan tugas pemerintahan secara bersama. Aparat tersebut dapat dijumpai mulai dari unit pemerintahan terkecil, yaitu gampong (desa). Aparat yang dimaksud adalah yang sekarang populer dengan sebutan penguasa (umara) dan  ulama.

Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintahan dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam pemerintahan kerajaan. Uleebalang, sebagai pimpinan unit pemerintahan nanggroe (negeri). Panglimna Sagoe (Panglima Sagi) yang memerintah unit wilayah pemerintahan sagi. Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchik yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka, dalam struktur pemerintahan di Aceh dikenal sebagai pemimpin adat.

Sementara ulama adalah aparat pendamping dan penasehat para Umara atau pemimpin adat dalam melaksanakan pemerintahan, khususnya dalam memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut dengan bidang hukom (syariat atau hukum Islam). Dengan kata lain ulamalah yang membantu atau memberi nasehat kepada Sultan, Panglima Sagoe, Uleebalang. Keupala Mukim dan Keuchik dalam mengerjakan atau menyelesaikan berbagai hal yang berkenaan dengan masalah keagamaan di wilayah kekuasaannya. Dengan demikian para ulama ini dalam struktur pemerintahan tradisional di Aceh dikenal sebagai pemimpin agama atau tokoh agama.

Selain sebagai penasehat pimpinan pemerintah, ulama juga mempunyai tugas lain yang berkenaan dengan jabatannya itu. Di antara tugas-tugas tersebut misalnya dapat dilihat pada unit pemerintahan Gampong, seperti membina atau mengasuh pengajian anak-anak di meunasah-meunasah, menyelesaikan sengketa sesama warga gampong bersama Keuchik dan Tuha Peut, mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan warga masyarakat, seperti memandikan jenazah, membuka kuburan, pembacaan do’a di kuburan (talkin), mengurusi masalah Peurae (pembagian harta warisan) di wilayahnya dan sebagainya (Taufik Abdullah, 1983:150).

Sesuai dengan tugas tersebut, maka yang menjadi ulama pada sebuah gampong haruslah dijabat oleh seseorang yang taat beribadah dan mengerti/paham tentang masalah-masalah keagamaan. Untuk itu ulama harus seorang berilmu dan taat beragama, yang dalam istilah Aceh disebut ureung yang malem (orang yang alim).

Panggilan umum sehari-hari terhadap ulama adalah Teungku Namun tingkatan mereka berbeda, tergantung pada kadar keilmuan atau keulamaan yang dimilikinya. Bila mereka telah sampai pada tingkat “ulama besar”, biasanya dipanggil dengan sebutan Teungku Chiek atau Teungku Syiek” Lazim pula dengan menyebut nama tempat ia mengajarkan pendidikan agama (perguruannya), atau tempat ia berdomisili di belakangnya. Misalnya Teungku Chiek Di Tiro, Teungku Chiek Kuta Karang. Teungku Chiek Pante Kulu, Teungku Chiek Pante Geulima,Teungku Ujong Rimba, Teungku Tanoh Abee, Teungku Awe Geutah, Teungku Krueng Kalee, Teungku Indrapuri, Teungku Lam Jabat, dan sebagainya. Selain itu bila para ulama atau Teungku itu ada memegang suatu jabatan, maka panggilan untuk mereka biasanya juga diikuti dengan menyebut nama jabatannya itu. Misalnya bila ia memegang jabatan kadhi, baik pada tingkat kerajaan maupun pada tingkat nanggroe, maka sebutannya Teungku Kadhi, dan bila memegang jabatan Imum (Imam) atau khatib pada setiap mesjid dalam sebuah mukim, maka panggilannya Teungku Imum atau Teungku Khatib. Demikian pula bila mereka sebagai pendamping atau penasehat Kechiek pada sebuah gampong maka, panggilannya disebut Teungku Meunasah karena pengertian gampong juga diidentik dengan Meunasah (Taufik Abdullah, 1983:151).

Pada tingkat unit pemerintahan terkecil di Aceh yang disebut gampong, jabatan Keuchik selaku umara (penguasa pemerintahan) dan juga jabatan Teungku Meunasah selaku ulama dalam masyarakat diibaratkan dengan perbandingan sebagai berikut, yaitu Keuchik sebagai ayah dan Teungku Meunasah sebagai ibu. Di samping itu masing-masing aparat ini memiliki batas-batas wewenang serta tugas sendiri-sendiri. Keuchik mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat (keduniawian) dan Teungku Meunasah mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan (akhirat).

Perpaduan atau kerjasama yang erat antara kedua jenis aparat ini ulama dan umara (penguasa) dl Aceh tercermin pula dalam sebuah ungkapan yang sangat populer dalam masyarakat Aceh, yaitu adat ngon hukum hanjeut cree lagee zat ngon sifeut. Artinya adat dengan hukum agama tidak dapat dipisahkan seperti benda/unsur dengan sifatnya. Dalam ungkapan tersebut yang dimaksud dengan hukom adalah hukum Islam yang diajarkan oleh para ulama. Yang dimaksud dengan adat ialah kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang dikelola oleh pemerintah atau penguasa yang diistilahkan dengan umara.

 

KIPRAH DAN PERAN ULAMA DALAM PERPOLITIKAN ACEH

 

1.  Kiprah Ulama Aceh pada Awal Kemerdekaan

            Keterlibatan ulama di Aceh dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, setelah diproklamasikannya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sangat besar.

Meskipun berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di Aceh agak terlambat. Para pemimpin di Aceh yang mayoritasnya ulama, memperingatkan rakyat Indonesia bahwa kemungkinan besar Belanda akan menjajah Indonesia kembali. Kecurigaan tokoh-tokoh pimpinan Aceh tersebut, terbukti pada September 1945 yang mulai melakukan agresi militernya dan telah berada di Medan (Anthony Reid, 1979 ; 151-152).

Sehubungan dengan situasi seperti itu, beberapa ulama melakukan pertemuan yang memutuskan untuk memberi dorongan kepada Republik Indonesia terhadap Proklamasi kemerdekaannya. Pertemuan itu, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut “Deklarasi Seluruh Ulama Aceh” yang ditandatangani oleh empat ulama terkenal, yaitu : Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Ja’far Siddiq dan Tgk. Hasan Krueng Kalee (Hasbi Amiruddin, 2004 ; 55).

Pernyataan politik tersebut berisi tentang perang jihad fisabilillah bagi seluruh ummat Islam untuk mempertahankan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan kalau gugur mendapatkan pahala syahid (Ali Hasjmy, 1997 ; 115). Deklarasi ini telah mendorong rakyat untuk bersatu mendukung “Pemimpin Besar Soekarno” dalam perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali ke Indonesia, karena Belanda diyakini akan menghancurkan kemurnian agama dan juga menindas serta melecehkan kehormatan dan merintangi kemakmuran rakyat Indonesia.

Keberhasilan Belanda dalam menggempur Surabaya (Jawa Timur), 10 November 1945 membuat sejumlah ulama di Aceh membentuk angkatan perang Islam yang dinamakan Lasykar Mujahiddin. Pertemuan pembentukan Lasykar Mujahiddin tersebut berlangsung di Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 17 November 1945. Lasykar ini dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh, salah seorang ulama yang menandatangani deklarasi ulama. Organisasi pasukan militer ini dalam waktu yang singkat telah membangun lasykar di beberapa wilayah. Selanjutnya Lasykar Mujahiddin berubah namanya menjadi Divisi Tgk. Chik Di Tiro dan di Aceh Timur diberi nama Divisi Tgk. Chik Paya Bakong. Divisi Tgk. Chik Di Tiro dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh dan Divisi Tgk. Chik Paya Bakong dipimpin oleh Tgk. Amir Husein Al Mujahid (Jarahdam, 1972; 1-8).

Patriotisme perjuangan rakyat Aceh yang dibalut dengan semangat jihad fi sabilillah, membuat Belanda mengurungkan niatnya menyerang Aceh. Kendatipun, Belanda telah mendirikan markas-markasnya di Medan dan Inggris di Sabang. Agresi pertama Belanda pada 21 Juli 1947 gagal masuk ke Aceh.

Pada pertengahan tahun 1948, Presiden Soekarno mengunjungi Aceh dan mengumpulkan para tokoh dan pedagang Aceh untuk membantu perjuangan. Waktu itu semua anggota masyarakat terutama para pedagang mengumpulkan dana dan emas untuk membeli sebuah kapal terbang. Tokoh Aceh yang menjadi Gubernur Militer pada waktu itu, yakni Tgk. M. Daud Beureueh, meminta kepada Bung Karno untuk mengizinkan diberlakukannya syari’at Islam di daerah Aceh setelah merdeka. Bung Karno yang semula menyatakan setuju, setelah Tgk. M. Daud Beureueh menyodorkan konsep surat untuk ditandatangani, Bung Karno menangis terisak-isak sambil mengatakan : ”Kanda tidak percaya padaku, buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya”. Tgk. M. Daud Beureueh pun mengundurkan niatnya sesudah itu. Hal ini menjadi bukti tentang besarnya peranan seorang ulama dalam masyarakat Aceh.

Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keputusan tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47 (Nazaruddin Syamsuddin, 1985; 27).

Latar belakang munculnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh, disebabkan sampai bulan Maret 1950 Pemerintah belum menetapkan Aceh sebagai Provinsi. Sebenarnya, Provinsi Aceh dibentuk tanggal 31 Januari 1950 melalui Peraturan Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah Nomor : 8/Des/WKPM/1949 yang tidak berlaku lagi. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, tentang pembentukan Provinsi Aceh dan memasukkannya kembali menjadi bagian Provinsi Sumatera Utara. Hal ini sangat ditentang oleh tokoh-tokoh pimpinan Aceh termasuk para ulama, kondisi ini menjadi permasalahan yang menimbulkan ketegangan hubungan Aceh dengan Pemerintah Pusat (Ramadhan dan Hamid Jabar, 1995:316).

Penghapusan provinsi Aceh, menyebabkan pembangunan dan perkembangan Aceh menjadi terhambat. Rasa tidak puas mulai muncul di tengah masyarakat. Sebagai suatu Keresidenan, banyak hal yang berubah. Para pegawai yang berasal dari Aceh, banyak yang dinon-aktifkan. Pelabuhan Ulee Lheue ditutup, semua barang dari Aceh harus melalui Belawan, Medan. Begitu juga halnya dengan penutupan Pelabuhan Lhokseumawe dan Langsa.

Aceh merasa dianaktirikan dan rasa tidak puas itu akhirnya meledak. Bersamaan dengan saat Presiden Soekarno meresmikan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-III di Stadion Teladan-Medan, tanggal 20 September 1953, pemberontakan di Aceh pecah. Mereka menamakan gerakannya Darul Islam (DI) dan Pasukan Tentara Islam Indonesia (TII), dibawah pimpinan Teungku M. Daud Beureueh (Ramadhan dan Hamid Jabar, 1995 : 316-317).

Disebut juga pada pertengahan tahun 1953, seorang intel dari Kejaksaan Agung (bernama Mustafa dengan nama samaran A. Fatah), pergi ke Aceh dan menemui beberapa tokoh Aceh, antara lain Wedana Kutaraja (Banda Aceh), Tgk. Syeikh Marhaban, dan Tgk. A. Wahab Seulimum. Mustafa, menginap tiga bulan di rumah Tgk. M. Daud Beureueh untuk mencari hubungan antara pergerakan yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh dengan DI/TII pimpinan Sekarmaji di Jawa Tengah.

Setelah kepulangan Mustafa ke Jakarta dan rumahnya diperiksa oleh pihak Kejaksaan Agung, yang kemudian didapatilah surat kuasa yang ditandatangani oleh Tgk. M. Daud Beureueh, Jaksa Sunaryo dari Kejaksaan Agung berkali-kali mengunjungi Aceh dan memberikan keterangan pers bahwa tiga ratus pemimpin Aceh akan ditangkap. Setelah beberapa kali Sunaryo datang ke Aceh, tokoh-tokoh Aceh menjadi gelisah, karena beberapa orang diantaranya dipindahkan keluar Aceh. Maka timbullah pemberontakan yang diberinama DI/TII di Aceh .

Untuk menyelesaikan masalah ini, diselenggarakan Musyawarah Aceh di Medan yang dihadiri oleh seluruh organisasi masyarakat Aceh di luar Aceh dan wakil-wakil dari kabupaten diseluruh Aceh. Disamping itu para petinggi militer dari Pusat mengadakan pendekatan dengan tokoh-tokoh DI/TII, termasuk Jenderal Abdul Haris Nasution yang bertemu dengan Hasan Saleh Panglima Perang DI/TII yang kemudian membentuk Dewan Revolusi, mengambil alih kekuasaan dari tangan Tgk. M. Daud Beureueh. Wakil Presiden Mohammad Hatta juga mengirimkan utusan ke pedalaman Aceh menemui Perdana Menteri DI/TII, Tgk. Hasan Ali.

Akhirnya datang ke Aceh suatu missi resmi dari Pemerintah Pusat dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, Mr. Hardi. Missi ini kemudian terkenal dengan nama Missi Hardi. Setelah beberapa hari berunding dengan tokoh-tokoh Aceh, termasuk Gubernur Aceh, Ali Hasymy, dan tokoh-tokoh DI/TII disimpulkan bahwa kepada daerah Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu : (1) bidang Agama; (2) bidang Adat; dan (3) bidang Pendidikan. Pemberian keistimewaan itu dituangkan dalam Keputusan Peradana Menteri No. 1/Missi/1959, dan sejak waktu itu Propinsi Aceh dinamakan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Akan tetapi, Keputusan Wakil Perdana Menteri ini tidak punya efek apa-apa terhadap daerah Aceh. Setelah Keputusan Wakil Perdana Menteri ini, pada tahun 1962 dilanjutkan dengan Keputusan Panglima Komando Daerah Militer I/ Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin dengan menetapkan berlakunya syari’at Islam di Aceh. Keputusan ini merupakan Keputusan Penguasa Perang Daerah (Peperda). Tetapi pada waktu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang ini, ternyata ditolak oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan peraturan pelaksanaan terhadap Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi, tidak pernah muncul di tingkat pusat.

Masyarakat Aceh secara keseluruhan telah menjadi penganut agama Islam, dalam kehidupannya sehari-hari sejauh mungkin dicoba untuk diselaraskan dengan tuntunan ajaran Islam. Karenanya sistem budaya etnis yang dimilikinya yaitu adat telah disesuaikan dengan berbagai segi ajaran Islam, sehingga antara keduanya sudah sukar untuk dipisahkan, seperti telah diutarakan dalam ungkapan tersebut di atas.

 

2.  Kiprah Ulama Aceh pada Masa DI/TII

Adanya perbedaan pendapat yang muncul antara pemimpin Aceh dengan pemerintah pusat (Jakarta), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya pemberontakan DI/TII tahun 1953, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Saat itu, rakyat Aceh mengharapkan daerahnya menjadi salah satu provinsi yang mendapat perlakuan yang istimewa (Hasbi Amiruddin, 2004:59).

Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang menjadi latar belakang mengapa rakyat Aceh menentang pemerintah pusat.  Pertama, rakyat Aceh sudah lama terlibat perang untuk mempertahankan negerinya dari jajahan kolonial Belanda. Hampir seratus tahun tidak ada pembangunan yang dapat dilakukan, ekonomi dan pendidikan tidak dapat dikembangkan.

Rakyat Aceh merindukan pemimpin yang berasal dari daerah Aceh atau putra daerah. Karena dengan pemimpin yang berasal dari daerah sendiri, maka diharapkan dapat memahami kebutuhan rakyat dan memahami watak rakyat Aceh yang agak berbeda, khususnya dipandang dari aspek agama dan budaya, dibandingkan dengan masyarakat dari wilayah lainnya di Indonesia.

Akan tetapi, Pemerintah pusat mempunyai sisi pandang yang berbeda mengenai permintaan masyarakat tersebut. Propinsi Aceh yang baru berumur setahun disatukan dengan Sumatera Utara untuk dijadikan satu provinsi.  Sejak saat itu, kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi Aceh.

Suasana menjadi semakin panas dengan adanya penangkapan-penangkapan sejumlah tokoh yang lantang dan bersuara keras, yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Karenanya, Tgk. Daud Beureueh, pada 21 September 1953, memutuskan perang melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan SM Kartosuwiryo dibawah bendera DI/TII, yang sudah mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949.

Sebagian besar Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), ikut berjuang bersama Tgk. Daud Beureueh saat itu yang sudah naik gunung. Ulama yang ikut mengangkat sejata tersebut, tergabung dalam resimen 5 DI/TII, sekaligus pengawal paling setia Tgk. Daud Beureueh (Otto Syamsuddin Ishak, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).

Sjafruddin Prawiranegara, sebagai Perdana Menteri Sementara saat itu, memahami keinginan  dari masyarakat Aceh tentang status khusus tersebut, namun keinginan ini ditolak oleh pemerintah pusat (Soekarno dan Hatta).

Pemberontakan yang terjadi di Aceh pada awal tahun lima puluhan melibatkan mayoritas masyarakat Aceh, karena digerakkan oleh sejumlah ulama yang terkenal pada waktu itu, di antaranya yaitu Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Pemerintah pusat tidak dapat meredam pemerintakan tersebut, yang berlangsung selama sembilan tahun yaitu 1953-1962. Pemberontakan ini berakhir setelah pemerintah pusat menerima status daerah Istimewa Aceh. Rakyat Aceh diberi hak otonomi, yaitu dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan adat istiadat. Dalam mengakhiri pemberontakan tersebut, ditandai dengan adanya perdamaian yang juga dipelopori oleh sejumlah ulama Aceh pada waktu itu.

3.       Keikutsertaan Ulama Aceh dalam Penumpasan Komunis dan Pembentukan Majelis Ulama Indonesia

 

            Ideologi Komunis yang telah mewabah di Indonesia pada tahun 60-an, mendapat kerisauan dari segenap masyarakat dan tokoh-tokoh nasionalis, termasuk kaum agamis. Kekhawatiran terhadap pengaruh komunis tersebut juga turut dirasakan di Aceh. Penyebaran pemahaman dan ajaran politik yang berkiblat pada negeri Cina dan Russia tersebut terus saja membuat pihak pemerintah Indonesia was-was dan meminta fatwa ulama untuk memberantas komunis di Indonesia. Apalagi setelah penculikan dan pembantaian yang dilakukan terhadap enam perwira militer di Jakarta (Soe Hoe Gie ; ……..)

Di Aceh, pemahaman ideologi komunis yang berkembang mendapat tantangan keras dari para ulama. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali Hasjmy (1997 : 147) sebagai berikut :

Pada penghujung tahun 1965, dua bulan setengah setelah terjadi pengkhianatan kaum Komunis Indonesia yang didukung gerakan kaum komunis internasional, di Banda Aceh berlangsung Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh di bawah pimpinan ulama besar Teungku Haji Abdullah Ujongrimba. Musyawarah antara lain mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ajaran komunisme dan menyatakan bahwa para penggerak, pelopor dan pelaksana G-30 S (Gerakan 30 September) adalah “kafir harbi” yang wajib dibasmi. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Teungku Abdullah Ujongrimba sebagai Ketua Presidium Musyawarah dan para ulama peserta musyawarah lainnya.

 

Dalam rangka menumpas kaum komunis tersebut di Aceh, Ishak Juarsa, Panglima Kodam I Iskandar Muda selaku Penguasa Perang Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh, secara terpisah meminta pendapat berupa Hukum Islam mengenai G 30 S. itu kepada ;

1. Teungku Haji Abdullah Ujongrimba (Ketua Mahkamah Syari’ah/Pengadilan Agama Daerah Istimewa Aceh);

2.       Teungku Haji Hasan (Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh);

3.       Drs. Haji Ismuha (Rektor IAIN Jamiah Ar-Ranirry Darussalam, Banda Aceh).

Meskipun mereka tidak bermusyawarah, bahkan satu sama lain tidak tahu menahu, namun jawaban mereka sama, yaitu karena masalah ini besar, maka sebaiknya diundang para ulama seluruh Aceh untuk sama-sama membicarakan masalah tersebut.

Saran tersebut diterima oleh Pangdam Iskandar Muda dengan mengundang seluruh ulama yang ada di Aceh dalam kegiatan Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 17-18 Desember 1965 (23-24 Syakban 1385 H), yang dihadiri oleh sebanyak 56 alim ulama terkemuka dari seluruh Tanah Aceh.

Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba tersebut, keluarlah beberapa keputusan yang menyatakan ajaran komunisme kufur/haram hukumnya, penganutnya yang sadar adalah kafir, pelaku G. 30. S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas, pembubaran PKI wajib hukumnya, orang yang menumpas G. 30. S karena Allah dan terbunuh mati syahid hukumnya.

Pertemuan ulama se-Daerah Istimewa Aceh tersebut juga memutuskan untuk mendirikan organisasi ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh, yang dipimpin dan diketuai oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba untuk pertama kalinya.

Setelah keluarnya fatwa ulama tersebut, maka pada tanggal 19 Desember 1965 Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi bawahannya dalam daerah hukumnya, yaitu Daerah Istimewa Aceh.    

 

4.   Keberadaan Ulama dalam Konflik Gerakan Aceh Merdeka

           

Pada masa lampau, peran dayah tidak hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Namun, menyentuh ranah sosial politik, kekuasaan, bahkan lebih jauh menjadi tempat melahirkan panglima perang.

Pada era Kasultanan Aceh, Abdul Rauf As-Singkili merupakan ulama kerajaan yang membuat kanun atau hukum pemerintahan dan kemasyarakatan. Adapun pada masa perang Aceh melawan kolonial Belanda, dayah di Aceh menjadi tempat menyusun strategi. Sebagian dayah menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zawiyah (dalam lidah Aceh sering disebutkan sebagai Dayah). Salah satu di antaranya adalah Zawiyah Tanoh Abee di Aceh Besar.

Tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah, di antaranya, adalah Tgk H Syeh Abdul Wahab yang merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah pimpinan generasi kelima, Zawiyah Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat Perang Aceh, seperti diutarakan almarhum Tgk. M Dahlan Al Fairussi, pimpinan generasi kesembilan di zawiyah itu.

Namun, sejak konflik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hampir semua dayah di Aceh berupaya memberi jarak pada urusan politik. Dayah berupaya ”hanya” menjadi pusat pendidikan agama.

Selama masa konflik RI dengan GAM, dayah berada di posisi terjepit di antara dua kekuatan yang bertikai, sehingga ruang geraknya menyempit. Santri-santri dan ulama tidak leluasa berdakwah dan melakukan pengajian karena khawatir dicurigai, baik oleh TNI/Polri maupun oleh GAM. Santri dan abu (pemimpin dayah) seperti terpenjara dalam lingkungan dayah. Bahkan, untuk menyerukan perdamaian pun bisa dicurigai karena dianggap melemahkan perjuangan salah satu pihak.

Dayah lambat laun memilih peran dengan berdiam diri dan dengan itu mereka menjadi pelindung masyarakat dari teror dan tekanan konflik. Mereka harus ekstra hati-hati. Demi kelangsungan hidup dayah, mereka berjuang untuk tetap berada di garis tengah agar tidak terseret ke dalam arus konflik.

Setelah Tgk. Daud Beureueh turun gunung dan berdamai dengan Pemerintah RI, keterlibatan beliau dalam perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pimpinan Hasan Tiro, kembali dikait-kaitkan.

Meskipun banyak asumsi yang menuai pro-kontra mengenai keterlibatan beliau (Tgk. Daud Beureueh) terhadap Perlawanan GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro di Puncak Gunung Halimun, Pidie, namun perlawanan tersebut mendapat dukungan penuh dari beberapa tokoh pendukung DI/TII. Diantaranya adalah Teungku Ilyas Leubee dan Daud Paneuk. Ilyas merupakan ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung setia Daud Beureueh (Zakaria, tokoh GAM di Thailand, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).

Deklarasi pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diketuai oleh Hasan Tiro, pada awalnya merupakan sebuah perjuangan kelanjutan dari Republik Islam Aceh (RIA). RIA lahir melalui sebuah gerakan pembebasan yang ingin membebaskan rakyat Aceh dari belenggu “penjajahan” Republik Indonesia. Sang arsitek GAM, Tgk. Daud Beureueh, menginginkan Aceh harus menjadi Negara Islam yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Menurut Tgk. Daud Beureueh, dengan bersandarkan kepada Al-Quran dan Al hadist, maka rakyat Aceh akan mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran sebagaiman sejarah Aceh tempo dulu. Maka dalam perjuangan menegakkan Negara Islam Aceh, semangat hukum Islam sangat ditonjolkan (Abu Jihad, ….. : 45).

Dalam melanjutkan perjuangan tersebut, tentunya Tgk. Daud Beureueh tidak mempunyai kuasa lagi. Hal itu dikarenakan fisik nya yang mulai melemah dan kontrol yang sangat ketat dari Intelijen Indonesia. Karenanya, perjuangan menegakkan Negara Aceh yang berdaulat dengan berlandaskan hukum Islam diberikan kepada Hasan Tiro.

Keterlibatan ulama dalam awal-awal perjuangan GAM terasa amat kental. Bahkan, ada beberapa ulama terkenal diantaranya menjadi pemangku jabatan strategis dalam struktur Pemerintahan Aceh Merdeka. Dalam Kabinet Pemerintahan Aceh Merdeka yang disebut juga dengan Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) yang diproklamirkan di  puncak gunung Halimun-Pidie, Tgk. Daud Beuereueh mendapat kedudukan sebagai mufti empat disamping Dewan Syura lainnya seperti : Tgk. H. Ilyas Leubee, Tgk. H. Ilyas Cot Plieng, Tgk. Hasbi Geudong dan Ayah Sabi. Adapun susunan cabinet selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut :

1. Mufti Empat                       : Teungku M. Daud Beuereueh

2. Dewan Syura                       : Tgk. H. Ilyas Leubee, Tgk. H. Ilyas Cot Plieng, Tgk. Hasbi Geudong dan Ayah Sabi

3. Wali Negara                        : Dr. Tgk. Hasan Muhammad di Tiro

4. Wakil Wali Negara  : Dr. Tgk. Muchtar Yahya Hasbi Geudong

5. Menteri Dalam Negeri        : Dr. Tgk. Muchtar Yahya Hasbi Geudong

6. Menteri Luar Negeri           : Dr. Tgk. Hasan Muhammad Di Tiro

7. Menteri Pertahanan/Pangab            : Dr. Tgk. Muchtar Yahya Hasbi Geudong

8. Menteri Kehakiman                        : Tgk. H. Ilyas Leubee

9. Menteri Sosial                                 : dr. Zubir Mahmud

10. Menteri Kesehatan                        : dr. Zaini Abdullah

11. Menteri Pendidikan                      : dr. Husaini Hasan

12. Menteri Penerangan                      : Tgk. Muhammad Taher Husen

13. Menteri Perhubungan                    : Tgk. Amir Ishak, SH

14. Menteri Perdagangan                    : Tgk. Amir Mahmud (Singapura)

15. Menteri Pekerjaan Umum             : Ir. Asnawi Ali

16. Menteri Keuangan                        : Tgk. Muhammad Usman Awe

17. Mensesneg                                    : Tgk. Darul Kamal

 

Setelah tersusunnya para menteri, disusun pula pejabat tinggi Negara setingkat menteri yang terdiri dari :

Kepala Staf Angkatan Bersenjata              : Tgk. Fauzi Hasbi Geudong

Kepala Pengawasan Keuangan Negara          : Tgk. Uzir Jailani

Duta Kuasa Penuh/Duta keliling                    : Malik Mahmud

Panglima Pengawal Wali Negara                    : Tgk. Daud Husein

 

Susunan Militer untuk Wilayah I

Panglima Wilayah Pidie                              : Tgk. Daud Husein

Panglima Wilayah Batee Ilik                      : Tgk. Idris Ismail

Panglima Wilayah Pase                               : Tgk. Jamil Syamsuddin

Panglima Wilayah Perlak                            : Ir. Zuber Mahmud

Panglima Wilayah Tamiang                        : Tgk. Ali Daud

Panglima Wilayah Tengah                          : Tgk. Ilyas Leubee

 

 

Ulama beralih dari GAM

Setelah Hasan Tiro pulang ke Aceh, banyak ide-ide baru yang disampaikan untuk perjuangan Gerakan Aceh Merdeka. Ide-ide atau konsep baru tersebut sangat bertentangan dengan Islam dan norma Adat Istiadat Aceh secara umum. Karenanya terjadilah selisih paham yang mengakibatkan perpecahan di tubuh GAM.

Adapun penyebabnya antara lain ; pencetusan hari dan tanggal Proklamasi kemerdekaan Aceh. Banyak tokoh-tokoh senior Aceh menginginkan penetapan hari dan tanggal proklamasi disesuaikan dengan hari pelantikan perdana menteri dan perwira militer, yakni tanggal 20 Mei 1977. Bahkan, ada diantaranya mengusulkan agar penetapan hari proklamasi disesuaikan dengan hari proklamasi RIA, yakni tanggal 15 Agustus 1961. Sementara itu, Hasan Tiro tetap bersikukuh dengan pendapat pribadinya yang menginginkan tanggal proklamasi kemerdekaan Aceh disesuaikan dengan tanggal kematian kakeknya, Tgk. Ma’at di Tiro yang syahid pada tanggal 4 Desember 1911.

Kedua, mengenai bait proklamasi. Pada alinea terakhir bait proklamasi Hasan Tiro mencantumkan kalimat ; “ Siploh droe njang po tanda droe nibak peunjata njoe ka meugulee matee sjahid” yang artinya (Sepuluh orang Kakek yang menandatangani proklamasi ini sudah terguling mati sayahid”. Kalimat itu menurut beberapa tokoh dirasakan kurang tepat. Tgk. Hasbi Geudong memberikan usulan agar dapat dirubah dengan kalimat “Meuribee-ribee droe endatu bangsa Atjeh ka meugulee matee sjahid nibak peutheun nanggroe njang mulia njoe” yang artinya beribu-ribu moyang bangsa Aceh telah mati syahid dalam mempertahankan Negara yang mulia ini”. Usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Hasan Tiro tanpa alasan yang pasti. ( Abu Jihad, ….: 83-85).

Ketiga, tentang wilayah kekuasaan. Dalam deklarasi GAM, Hasan Tiro telah mengklaim bahwa wilayah negara yang dibentuk meliputi seluruh Sumatera sampai ke Lampung. Namun pendapat ini disanggah oleh Dr. Muchtar. Menurutnya, tidak mudah mengklaim wilayah Sumatera secara keseluruhan karena tidak ada landasan historisnya. Keempat, tentang bentuk Negara Aceh yang bersifat Kerajaan. Hal ini ditegaskan oleh Hasan Tiro dengan alasan bentuk sebuah kerajaan merupakan sistem pemerintahan yang sangat ideal di seluruh dunia. Namun konsep yang ditawarkan oleh Hasan Tiro tersebut kembali ditolak oleh Dr. Muchtar yang mengusulkan apabila dibentuk Kerajaan maka Tuanku Ibrahim di Banda Aceh harus diikut sertakan dalam perjuangan, paling tidak sebagai penasehat. Mendengar hal tersebut Hasan Tiro menjadi gusar karena maneuver politiknya tidak diterima oleh forum.

Kelima, tentang bendera negara. Para tokoh RIA telah sepakat bendera yang akan dipakai nanti adalah bendera alam peudeung dengan warna dasarnya berwarna hijau. Sedangkan untuk bendera dengan warna dasar merah dengan berlambang bulan bintang ditengahnya melintang sebuah pedang hanya akan dipakai sebagai bendera perang. Namun bendera tersebut mendapat perubahan di tangan Hasan Tiro dengan memakai warna merah pada dasarnya dan bulan bintang di tengah serta strip hitam sebagai tanda untuk mengenang kakeknya. Keenam, mengenai bahasa persatuan yang diusulkan memakai bahasa Aceh dan bahasa melayu pasee oleh tokoh RIA. Usulan tersebut kembali dipatahkan oleh Hasan Tiro dengan alasan bahasa melayu telah dipergunakan oleh Negara Indonesia dan untuk Negara Aceh haram memakainya. Hasan Tiro mengusulkan bahasa persatuan Negara Aceh adalah bahasa Aceh. Padahal, dari latar belakang sejarah yang diketahui, bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu dan bila dikaji dari segi geografis dan keragaman suku, maka apabila dipakai bahasa  Aceh Suku Aneuk Laot, Takengon, Gayo, Alas dan Tamieng serta suku lainnya akan susah sekali berkomunikasi.

Ketujuh, tentang pijakan sejarah dimana Hasan Tiro hanya berkonsep pijakan sejarah hanya tertuju pada Tgk. Chik Di Tiro dan keluarganya sampai dengan tahun 1911 — saat syahidnya Teungku Ma’ad di Tiro.  Sedangkan para tokoh RIA berpijak mulai dari Sulthan Ali Mughayat Syah, Ali Riayat Syah Al Qahar dan Sultan Iskandar Muda, jelasnya sampai tahun 1942 sebagai benang merah yang tiada putus dan tersambung sampai Belanda sendiri lari dari Aceh.

Hal-hal tersebut lah yang membuat sebagian besar ulama berpindah jalur dari Gerakan Aceh Merdeka, meskipun ada berapa diantaranya yang masih ikut mengangkat senjata dengan alasan lain. Pada tahun 1990-an, perpecahan antara kedua belah pengikut Hasan Tiro dan bekas pejuang RIA yang kemudian dipimpin oleh Dr. Husaini, semakin melebar dan mencapai puncaknya. Pergesekan tersebut akhirnya membuat Hasan Tiro mengambil keputusan untuk memecat Dr. Husaini dan pengikutnya dari struktural GAM.

Gerakan offensive yang dilakukan oleh anggota GAM dibawah Hasan Tiro sangat mencemaskan banyak kalangan. Dalam hal tersebut, Ahmad Kandang yang bertindak selaku militer GAM menyerang tentara Indonesia. Padahal, menurut Don Zulfahri penyerangan tersebut tidak pernah diinstruksikan oleh Mabes GAM. Setiap pejuang Aceh Merdeka selalu mengutamakan keselamatan, harta dan marwah bangsa Aceh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya disetiap tindakan yang diambil. (Waspada, 19 Juli 1999).

 

5. Peran Ulama dalam Lahirnya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

 

Sebagaimana diketahui bahwa proses lahirnya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh, juga melibatkan peran ulama sebagai salah satu komponen masyarakat Aceh. Di samping itu, tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai elemen juga memiliki andil dalam proses lahirnya undang-undang tersebut.

Di samping itu, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang mewakili daerah pemilihan Aceh terus bejuang di lembaga legislatif untuk kepentingan kesejahteraan rakyat pasca Daerah Operasi Militer (DOM), baik lewat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) maupun lewat departemen terkait terutama departemen-departemen di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesra/Taskin, bergerak langsung memberikan bantuan bagi korban DOM, pemugaran rumah-rumah yang terbakar, penegerian sekolah-sekolah dan madrasah, pengangkatan guru-guru dan pegawai negeri sipil yang berasal dari putra-putri korban DOM dan sebaginya.

Dalam pembahasan UU tentang Pemerintahan Daerah, para anggota DPR RI dari daerah pemilihan Aceh berhasil menempatkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan keistimewaan dalam bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam satu UU tersendiri. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang mencantumkan sebutan Daerah Istimewa Aceh hanya dalam penjelasan.

Mereka berjuang keras pula memperjuangkan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (PKPD) yang dapat menampung tuntutan daerah terutama dalam memasukkan penerimaan sektor migas menjadi bagian yang harus diperhitungkan dalam perimbangan keuangan. Puncak dari perjuangan Anggota DPR-RI periode 1997-1999 dari daerah pemilihan Aceh adalah terbentuknya UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Keistimewaan Aceh yang selama ini hanya berdasarkan Keputusan Missi Hardi, berkat perjuangan anggota DPR-RI yang memiliki kepedulian terhadap nasib dan masa depan Aceh, berhasil merumuskan dalam sebuah UU. Secara tidak berlebihan jika dikatakan ini merupakan lompatan sejarah yang mesti disyukuri.

UU No. 44 tahun 1999 lahir setelah diadakan berbagai diskusi sesama anggota Dewan dengan bimbingan para senior, saran Tim Penasihat Presiden Urusan Aceh, masukan dari para ulama, kaum cendekiawan, Gubernur dan Pemerintah Daerah, desakan Taman Iskandar Muada (TIM Jakarta) dan mahasiswa Aceh, para anggota DPR RI sampai pada kesimpulan, dalam era reformasi dan kepemimpinan pemerintahan yang demokratis, sekarang inilah momentum yang paling tepat untuk mengajukan UU usul inisiatif tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh yang merupakan pedoman penyelenggaraan di daerah.

Kesimpulan inilah yang kemudian secara kompak dilaksanakan oleh para anggota Dewan dengan mengumpulkan 48 tanda tangan dari para anggota yang mencakup semua Fraksi yang ada di Dewan. Dalam tanggapannya, semua Fraksi menyatakan persetujuannya untuk menerapkan syari’at Islam di Aceh.

Pelaksanaan sebagian syari’at Islam di seluruh daerah Republik Indonesia sesunggunhya telah dimulai tahun 1974 dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Perkawinan khusus untuk umat Islam.

Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pelaksanaan Keistimewaan Propinsi Aceh menjadi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, maka terdapatlah landasan yang kuat untuk menyelenggarakan syari’at Islam dalam satu propinsi dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pelaksanaan syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan dalam Peraturan Daerah setelah mendapat fatwa dari Majelis Pertimbangan Ulama yang independen, yang dibentuk dengan keputusan DPRD. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pembahasan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, para anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Aceh berhasil menempatkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan keistimewaan dalam bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam satu UU tersendiri. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang mencantumkan sebutan Daerah Istimewa Aceh hanya dalam penjelasan. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka sejarah pelaksanaan sebagian syari’at Islam di seluruh NKRI sesunggunhya telah dimulai tahun 1974 dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Perkawinan khusus untuk umat Islam (Badruzzaman Ismail, 2003:11).

Penjelasan tentang  Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah Amandemen Kedua, Tahun 2000 pasal 18 point II, alinea kedua menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.

Para anggota DPR RI yang berasal dari Aceh, berjuang keras pula memperjuangkan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (PKPD) yang dapat menampung tuntutan daerah terutama dalam memasukkan penerimaan sektor migas menjadi bagian yang harus diperhitungkan dalam perimbangan keuangan. Puncak dari perjuangan Anggota DPR-RI periode 1997-1999 dari daerah pemilihan Aceh adalah terbentuknya UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.

Salah seorang tokoh Aceh, menyatakan bahwa:         Undang-undang ini merupakan wujud nyata perjuangan rakyat Aceh untuk mengatur sesuai dengan berdasarkan Syari’at Islam”.  Keistimewaan Aceh yang selama ini hanya berdasarkan Keputusan Missi Hardi, berkat perjuangan anggota DPR-RI yang memiliki kepedulian terhadap nasib dan masa depan Aceh, berhasil merumuskan dalam sebuah UU. Secara tidak berlebihan jika dikatakan ini merupakan lompatan sejarah yang mesti disyukuri (M. Kaoy Syah, 2002:22).

            Undang-undang ini dengan tegas ditetapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Aceh. Penyeleggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, dengan tetap menjaga kerukunan antar umat beragama. Sebagaimana menurut Pasal 4 ayat 1 UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh ”Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat”. Perda No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam telah mengatur secara rinci pelaksanaan syari’at secara kaffah, mencakup aspek aqidah, ibadah, muamalat, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiah/amar makruf nahi mungkar, baitulmal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qhada, jinayat, munakahat dan mawaris (Badruzzaman, 2003:12).

Syari’at adalah hukum yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai kebahagiannya didunia dan akhirat, karena itu syari’at mencakup aturan-aturan yang mengatur perilaku manusia didunia, syari’at mencakup semua aspek kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dalam hubungan dengan diri sendiri, manusia lain, alam lingkungan maupun hubungannya dengan tuhan.

Dengan demikian syari’at Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, sehingga seorang muslim dapat melaksanakan ajaran Islam secara kaffah (utuh), syari’at Islam diturunkan Allah kepada manusia sebagai pedoman yang memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan tugas hidupnya didunia dengan benar menurut kehendak Allah, yang sesuai dengan  Al-Quran dan Hadis.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pelaksanaan Keistimewaan Propinsi Aceh menjadi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, maka terdapatlah landasan yang kuat untuk menyelenggarakan syari’at Islam dalam satu propinsi dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pasal 4 ayat 2 UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh berbunyi: “Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada pasal 1 tentang penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama”.

Pelaksanaan syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 5/2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam, secara keseluruhan (kaffah) tidak sepenggal-sepenggal. Setelah mendapat fatwa dari Majelis Pertimbangan Ulama yang independen, yang dibentuk dengan keputusan DPRD. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku. Hal ini memberi gambaran yang jelas tentang besarnya peran ulama Aceh dalam melahirkan berbagai kebijakan, terutama dalam perjuangan mewujudkan qanun syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Badruzzaman Ismail, 2003:14).

Sesuai dengan fungsi dan kewajibannya, maka para ulama dalam memimpin dan menggerakkan pelaksanaan iqamatuddin, selain memperkuat   tauhidullah, juga ditanamkan kesadaran politik Islam bagi umat Islam, terutama bagi para santri. Penanaman rasa kesadaran politik Islam adalah merupakan tuntutan yang penting, sebagaimana dibuktikan oleh para ulama di Indonesia.

Para ulama beserta santrinya harus menjadi pelopor dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, menentang kezaliman dan tirani, membela para dhua’afa, dan kaum tertindas. Dengan demikian jadilah pondok  atau lembaga pendidikan yang dipimpin ulama sebagai pusat dinamika perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Salah satu sifat para ulama adalah tidak takut selain kepada Allah SWT. Rumusan ini adalah benar, tetapi kenyataan dewasa ini para ulama umumnya, yang berdiam diri dalam menghadapi rongrongan dan penghinaan terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka takut kepada manusia, sehingga mereka tidak berbuat apa-apa untuk membela Islam dan kaum muslimin (Abdul Qadir Djaelani, 1994:146).

Dalam ajaran Islam tidak dibenarkan seseorang merasa takut membela kebenaran, begitu juga halnya dengan ulama idealnya senantiasa berpendirian kokoh membela sesuatu yang sejalan dengan agama. Amir Syakib Arsalan menyatakan bahwa orang jangan menyangka bahwa agama Islam dan perangai takut akan dapat berhimpun menjadi satu di dalam hati seorang muslim. Memang agama Islam dari segala segi dan bagiannya adalah lukisan dari sifat-sifat berani, perwira, perkasa dan ksatria yang bersendikan ikhlas semata-mata, bersih dari segala macam takut dan kecut.

Berpijak pada uraian di atas, maka kemunduran dan kelemahan para ulama dengan santrinya, seperti yang dialami sekarang ini akan membawa dampak yang buruk bagi masa depan umat Islam. Atas dasar itulah, maka eksistensi ulama idealnya dapat membawa pengaruh positif terhadap kemajuan umat Islam itu sendiri, terutama dalam hukum agama (Amir Syakib Arsalan, 1996:144).

Sumber pokok hukum agama adalah kitab suci, dan hukum agama berlaku bagi orang-orang yang menganutnya baik di dalam suatu negara maupun di luarnya. Dalam kitab suci memuat peraturan-peraturan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan manusia atau masyarakat berdasarkan Ketuhanan. Yang dimaksud dengan hubungan manusia dengan Tuhan ialah segala macam peraturan yang berhubungan dengan hal-hal yang menjadi keyakinan orang dalam agamanya. Yang diatur ialah segala sesuatu yang menjadi kepercayaan dan diyakini oleh penganutnya, serta cara-cara untuk melakukan ibadah (Amir Syakib Arsalan, 1996:144).

Untuk mengetahui bagaimana seseorang melakukan interaksi dengan Tuhan dan dengan sesama umat, maka hal tersebut dapat diketahui oleh umat Islam melalui perantaraan pengetahuan yang disampaikan oleh para ulama. Hal-hal yang diatur dalam hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan sesamanya, berdasarkan ketuhanan di antaranya:

a) Dalam lapangan kenegaraan, bagaimana seharusnya orang ber-negara dan bagaimana menjalankan pemerintahan.

b) Dalam lapangan ekonomi, bagaimana seharusnya orang men-jalankan perdagangan,

c)  Dalam lapangan kekeluargaan, tentang perkawinan, kewarisan.

d)  Dalam lapangan sosial, misalnya mengasihi anak yatim dan fakir miskin. (Amir Syakib Arsalan, 1996:222).

Semua ketentuan di atas merupakan hal-hal yang perlu diimplementasikan serta disosialisasi oleh para ulama sebagai pemimpin umat. Karena tanpa adanya upaya pensosialisasian sesuatu hukum tidak akan dipahami oleh masyarakat secara mendalam.

 

PENUTUP

 

1.  Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1.1 Eksistensi ulama dalam masyarakat sebelum kehadiran Belanda ke Aceh adalah sangat besar artinya. Ulama tidak hanya dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu menguasai adat istiadat serta pengetahuan lainnya.

1.2  Keterlibatan ulama sangat besar artinya terhadap kondisi sosial dan politik di Aceh. Secara politis, sejak awal kemerdekaan ulama Aceh sudah memegang peran yang sangat strategis, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalam memperjuangkan status Daerah Istimewa bagi Aceh.

1.3   Pengaruh keterlibatan ulama Aceh dalam kancah politik adalah dapat menjadi pelopor dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh (umat Islam). Ulama juga ikut berperan dalam menggagas perdamaian di Aceh, seperti halnya dalam penyelesaian DI/TII dan juga ikut pro aktif dalam mengupayakan perundingan Helsinki, yaitu perundingan antara pemerintah RI dengan GAM.

 

2.  Saran-saran

2.1  Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan dari perjuangan para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta turut pro aktif dalam menggagas perdamaian di Aceh.

2.2   Diharapkan kepada para guru dan calon guru sejarah dapat lebih giat berupaya untuk menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Upaya ini salah satunya adalah dengan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

 

Note :

Tulisan ini merupakan hasil skripsi S1 Boy Nashruddin Agus. Tapi, diakui tulisan ini belum sepenuhnya selesai. Tolong dikaji ulang dan diberi kritikan demi kebaikan sejarah ummat dan ulama Aceh”

Tags: sejarah aceh

Prev: PERUBAHAN (CHANGE)
Next: BENARKAH ADA KEMUMU DI DALAM SEMAK?

r

 

 

Tinggalkan komentar


  • Tidak ada
  • No comments yet

Kategori

Arsip